06 Februari 2008

HEDONISME MELANDA KITA

"Alangkah hebatnya, coba lihat hartanya banyak melimpah ruah, hidupnya mewah bergelimpangan, glamour penuh warna, begitu indah gemerlap bersinar bercahaya. Ditambah lagi emas, intan permata, simpanan deposito uangnya di bank manapun selalu ada, kendaraannya mengkilap keluaran terbaru, rumahnya gedung mentereng luas bertingkat dikelilingi taman air pancoran bak istana."

Itulah sepenggal obrolan singkat decak kagum yang keluar dari mulut kecil kaum marginal terhadap sebagian orang yang menurut penglihatannya adalah super kaya.

Tergoda, terpana, terpikat oleh "keberhasilan hidup" orang-orang kaya, serta berusaha sekuat tenaga dengan jalan yang halal guna mewujudkannya adalah impian dan cita-cita setiap insan. Namun sikap perilaku hidup yang selalu mengutamakan kesenangan, kemewahan, serta kebahagiaan berdasarkan harta benda yang berlimpah ruah dan ketersediaan materi di atas segala-galanya ( Hedonisme), merupakan "filosofi" pandangan hidup yang keliru.

Faktor-faktor "pencetus" Hedonisme

Di antara sejumlah faktor munculnya sikap ataupun perilaku hedonisme:

Pertama, adalah berasal dari life style (gaya hidup), seorang yang mampu dan dengan mudah bisa memperoleh kesenangan, kebahagiaan hanya dengan kepuasan memiliki serta mengoleksi sejumlah kemewahan yang bersifat kebendaan. Dirinya merasa tenteram dan nyaman bila mana berada di sampingnya.

Kedua, muncuknya sikap ataupun perilaku hedonisme adalah berasal dari pengaruh era modern yang seiring dengan perkembangan iptek telah begitu pesat menembus batas-batas rasionalitas akal sehat manusia mendorong hidup menjadi lebih baik lagi dalam menciptakan kreasi-kreasi model canggih demi kemajuan dan peningkatan kepuasan manusia itu sendiri. Sehingga memunculkan ketergantungan terhadap sesuatu yang berorientasi materialistis yaitu keyakinan yang menganut paham kebendaan merupakan sesuatu yang mutlak harus dimiliki yang berprinsip cozy, praktis dan exciting.

Peranan nilai, norma dan agama

Meskipun sikap atau perilaku hedonisme adalah hak pribadi seseorang, tetapi sikap tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai, norma dan agama, bertentangan dengan jiwa semangat teposeliro atau tenggang rasa dalam konteksi interaksi antar stratifikasi/lapisan sosial masyarakat, menimbulkan kecemburuan sosial, mendorong terjadinya ekses perubahan norma/pranata aturan hidup yang berlaku ke arah penghargaan dan penghormatan adalah berdasarkan seberapa besar seseorang memiliki kedudukan dan harta benda di mata masyarakat.

Begitu pula halnya agama mengecam keras terhadap perilaku atau sikap hedonisme yang di nilai terlalu berlebih-lebihan dalam hidup. Cenderung pamer dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Kesenangan, kelezatan serta kebahagiaan adalah final destination of life (Tujuan akhir hidup).

Agama mengajarkan tentang arti kebersahajaan, kesederhanaan dan kewajaran dalam hidup ini. Sementara, sikap hedonisme tak lebih dari ekspresi ambisi tanpa nurani yang tak berujung.

Kini hedonisme melanda sebagian masyarakat kita, baik secara langsung maupun tak langsung. Menurut Prof.Dr. Syafii Ma'arif, diperlukan adanya reaktualisasi dan revitalisasi peran nilai, norma dan agama secara komprehensif yang berfungsi sebagai pedoman moral etika masyarakat yang mampu meredam gejolak pola hidup hedonisme yang melahirkan budaya konsumtif materialistis sebagai konsekuensi logis di era modern ini.










1 komentar:

Beny Corp's mengatakan...

Wa'alaiku salam, lam kenal kembali, artikel bagus, semoga bisa terus ditingkatkan dan memperoleh apa yang diharapkan.